Kamis, 02 Agustus 2012

Film atau Buku

Baru-baru ini aku memang lebih suka menonton film tapi kadang juga membaca (walaupun sudah tidak kuliah lagi). Aku melihat bahwa antara kita membaca dengan menonton film itu tidak terlalu mempunyai perbedaan yang signifikan. Film adalah karya sastra kontemporer, buku semacam novel/biografi itu juga merupakan sebuah karya sastra. Yang mana didalam cerita juga sama-sama terdapat tokoh, alur cerita, jalur cerita juga. Kesimpulanku tetaplah sama, keduanya adalah mirip.
Sekarang mari kita melihat efek dari keduanya, efek yang ditimbulkan juga hampir mirip.  Kurang lebih mampu “meracuni” pembaca atau penonton. Kita juga ikut terbawa oleh alur ceritanya juga kan.
Sebenarnya saya menulis ini karena tadi ada orang yang bertanya, “nonton film terus kamu, jarang baca!”. Sambil senyum aku kebingungan. Tulisan ini saya tunjukkan untuk para kutu buku. Bahwa menonton film itu kini juga termasuk salah satu teknik literature yang efektif. Hampir selalu ada pelajaran di dalamnya, sebut saja film semacam The Accepted. Yang mungkin malah bias membom rata-rata pemikiran orang kutu buku yang pandangannya terhadap pendidikan terlalu mengkotak. Nah, efektif atau tidak itu tergantung pemilihan film. Pada dasarnya tidak ada film yang jelek (kecuali film horror Indonesia), semua tergantung orientasi pemikiran pada waktu kita akan menonton film.
Untuk kalian yang merasa terlalu tertekan oleh orang tua dalam hal menentukan studi kuliah, kalian harus melihat The Accepted atau Death Poet Society. Kurang lebih merepresentasikan perlawanan terhadap pilihan hati kalian. Atau untuk kalian yang kehilangan semangat hidup karena kekurangan yang kalian miliki, cobalah untuk menonton Letters to God atau Forrest Gump. Yang pastinya akan mengubah mind-set kalian, dan mengubah paradigm hidup dengan kekurangan. Mungkin juga untuk kalian yang merasa nasionalismenya masih setengah-setengah, coba tengok Ip Man. Film dengan bau nasionalisme murni ala China. Kurang lebih seperti itu.
Bukan maksud saya untuk mengajak kalian meninggalkan budaya membaca. Tapi menonton film dengan bijak juga tidak kalah efektifnya. Membaca itu sangat perlu sekali. Aku juga masih menyempatkan waktu untuk membaca, walaupun kadang satu buku baru selesai dibaca setelah 2 minggu (sedang film hanya 2 jam). Membaca adalah basic kita dalam berbicara (public speaking) dan juga menulis. Intinya, memperkaya kosakata yang pastinya sangat amat berguna bagi kita.
Kesimpulanku, kita tidak harus lagi memperdebatkan antara menonton film atau membaca buku. Keduanya termasuk dalam teknik literature kontemporer. Mendebatkan keduanya tidak akan menemukan mana yang lebih baik. Kita hanya harus mengimbangkan keduanya. Supaya menjadi seseorang yang “komplit”. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar