Baru-baru
ini aku memang lebih suka menonton film tapi kadang juga membaca (walaupun
sudah tidak kuliah lagi). Aku melihat bahwa antara kita membaca dengan menonton
film itu tidak terlalu mempunyai perbedaan yang signifikan. Film adalah karya
sastra kontemporer, buku semacam novel/biografi itu juga merupakan sebuah karya
sastra. Yang mana didalam cerita juga sama-sama terdapat tokoh, alur cerita,
jalur cerita juga. Kesimpulanku tetaplah sama, keduanya adalah mirip.
Sekarang
mari kita melihat efek dari keduanya, efek yang ditimbulkan juga hampir
mirip. Kurang lebih mampu “meracuni”
pembaca atau penonton. Kita juga ikut terbawa oleh alur ceritanya juga kan.
Sebenarnya
saya menulis ini karena tadi ada orang yang bertanya, “nonton film terus kamu,
jarang baca!”. Sambil senyum aku kebingungan. Tulisan ini saya tunjukkan untuk
para kutu buku. Bahwa menonton film itu kini juga termasuk salah satu teknik
literature yang efektif. Hampir selalu ada pelajaran di dalamnya, sebut saja
film semacam The Accepted. Yang mungkin malah bias membom rata-rata pemikiran
orang kutu buku yang pandangannya terhadap pendidikan terlalu mengkotak. Nah,
efektif atau tidak itu tergantung pemilihan film. Pada dasarnya tidak ada film
yang jelek (kecuali film horror Indonesia), semua tergantung orientasi
pemikiran pada waktu kita akan menonton film.
Untuk
kalian yang merasa terlalu tertekan oleh orang tua dalam hal menentukan studi
kuliah, kalian harus melihat The Accepted atau Death Poet Society. Kurang lebih
merepresentasikan perlawanan terhadap pilihan hati kalian. Atau untuk kalian
yang kehilangan semangat hidup karena kekurangan yang kalian miliki, cobalah
untuk menonton Letters to God atau Forrest Gump. Yang pastinya akan mengubah
mind-set kalian, dan mengubah paradigm hidup dengan kekurangan. Mungkin juga
untuk kalian yang merasa nasionalismenya masih setengah-setengah, coba tengok
Ip Man. Film dengan bau nasionalisme murni ala China. Kurang lebih seperti itu.
Bukan
maksud saya untuk mengajak kalian meninggalkan budaya membaca. Tapi menonton
film dengan bijak juga tidak kalah efektifnya. Membaca itu sangat perlu sekali.
Aku juga masih menyempatkan waktu untuk membaca, walaupun kadang satu buku baru
selesai dibaca setelah 2 minggu (sedang film hanya 2 jam). Membaca adalah basic
kita dalam berbicara (public speaking) dan juga menulis. Intinya, memperkaya
kosakata yang pastinya sangat amat berguna bagi kita.
Kesimpulanku,
kita tidak harus lagi memperdebatkan antara menonton film atau membaca buku.
Keduanya termasuk dalam teknik literature kontemporer. Mendebatkan keduanya
tidak akan menemukan mana yang lebih baik. Kita hanya harus mengimbangkan
keduanya. Supaya menjadi seseorang yang “komplit”. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar