Orang-orang melihat Gunung sebagi tempat berwisata. Menghilangkan penat dengan udaranya yang sejuk, pemandangan lerengnya yang menakjubkan. Namun tidak semua melihatnya sebagai dunia di dalam dunia.Ya, mendaki Gunung adalah olahraga yang tak semua berani mencoba. Tapi bagi saya sendiri, mendaki Gunung memberi rasa yang berbeda. Memberi kesan yang besar. Saya menyebutnya sebagai dunia dalam dunia, luas sekali. Gunung adalah tempat favorit saya seperti rumah kedua saya. Saya suka bercerita di atas, disana tidak ada yang munafik. Semua serba terbuka, Allah pastinya semakin dekat.
Pertama kali saya mendaki ketika saya SMA kelas 1. Pada waktu itu saya ikut Siswa Pecinta Alam di sekolah saya. Diklat bersama sekitar 20 orang teman di Karanglo, Matesih. Saya begitu bersemangat, karena Gunung yang akan didaki sudah menanti. Akhirnya datang waktu dimana saya akan naik Gunung. Gunung Merbabu Desember 2006, saya masih kecil, 15 tahun. Itu pendakian pertama saya, dan saya kaget. Ternyata Gunung itu lebih indah dari pandangan saya sebelumnya, luar biasa. Pada waktu itu saya bersumpah akan naik Gnuung ini lagi dan Gunung sekitarnya. Sejak saat itu saya jadi punya hobi baru, yaitu naik Gunung.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai berfikir agak berbeda. Gunung sudah merasuki pikiran saya. Saya melihat film "Gie". Soe Hok Gie sangat suka naik Gunung, terlebih Gede-Pangrango. Dengan cepat saya tertarik mengenal lebih dekat siap itu Soe Hok Gie. Sejak saat itu saya sangat mengagumi dia. Sejak saat itu saya sadar pikiran saya semakin kacau. Amburadul. Kritis.
Terus berlangsung sampai sekarang, aku terkemas menjadi manusia kompleks, melankolis. Aku merindukan kata-kata let it flow dalam hidup. Aku tidak bisa tenang, aku selalu cemas kepada sesuatu yang aku pikirkan. Aku cemas. itu bahkan sampai sekarang.