Senin, 15 Juli 2013

Orang-orang melihat Gunung sebagi tempat berwisata. Menghilangkan penat dengan udaranya yang sejuk, pemandangan lerengnya yang menakjubkan. Namun tidak semua melihatnya sebagai dunia di dalam dunia.Ya, mendaki Gunung adalah olahraga yang tak semua berani mencoba. Tapi bagi saya sendiri, mendaki Gunung memberi rasa yang berbeda. Memberi kesan yang besar. Saya menyebutnya sebagai dunia dalam dunia, luas sekali. Gunung adalah tempat favorit saya seperti rumah kedua saya. Saya suka bercerita di atas, disana tidak ada yang munafik. Semua serba terbuka, Allah pastinya semakin dekat.
Pertama kali saya mendaki ketika saya SMA kelas 1. Pada waktu itu saya ikut Siswa Pecinta Alam di sekolah saya. Diklat bersama sekitar 20 orang teman di Karanglo, Matesih. Saya begitu bersemangat, karena Gunung yang akan didaki sudah menanti. Akhirnya datang waktu dimana saya akan naik Gunung. Gunung Merbabu Desember 2006, saya masih kecil, 15 tahun. Itu pendakian pertama saya, dan saya kaget. Ternyata Gunung itu lebih indah dari pandangan saya sebelumnya, luar biasa. Pada waktu itu saya bersumpah akan naik Gnuung ini lagi dan Gunung sekitarnya. Sejak saat itu saya jadi punya hobi baru, yaitu naik Gunung.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai berfikir agak berbeda. Gunung sudah merasuki pikiran saya. Saya melihat film "Gie". Soe Hok Gie sangat suka naik Gunung, terlebih Gede-Pangrango. Dengan cepat saya tertarik mengenal lebih dekat siap itu Soe Hok Gie. Sejak saat itu saya sangat mengagumi dia. Sejak saat itu saya sadar pikiran saya semakin kacau. Amburadul. Kritis.
Terus berlangsung sampai sekarang, aku terkemas menjadi manusia kompleks, melankolis. Aku merindukan kata-kata let it flow dalam hidup. Aku tidak bisa tenang, aku selalu cemas kepada sesuatu yang aku pikirkan. Aku cemas. itu bahkan sampai sekarang.

Jumat, 12 Oktober 2012

Selasa, 18 September 2012

Akan kemana kita

ramai di jalanan akhir-akhir ini
aku berjalan tak ada yang sepi
roda-roda mereka berputar melindas
aspalnya pula hancur terlindas

emosi akrab dengan bising
masuk telinga kanan dan keluar di kiri
aku mendengarnya berkali-kali
tapi mereka tidak, asap knalpot menutup hati

di seberang aku lihat
rombongan senyum bersepeda
tapi miris karena terlihat kusam
kulitnya terbakar tak karuan

 di dalam hati mereka bertanya
"apa suatu hari nanti tak ada tempat untuk kita?"
sedih aku mendengar tanya itu
lalu aku diklakson dari belakang, lalu menyingkir


Seucap kata tertuliskan ini aku maksudkan untuk mereka yang masih punya prinsip dengan sepeda-sepeda kayuhnya. Aku sangat mengapresiasi mereka sebagai salah satu pengguna jalan yang aku segani. Berani melawan panas, tidak pernah lelah lalu mengeluh. Aku membayangkan jika saya paling tidak 10 % orang Solo beraktivitas dengan sepeda kayuh. Setidaknya akan menjadi damai kota ini. Tapi itu cuma gegayuhan anak bau kencur kok.
Salam :)

Senin, 13 Agustus 2012

Nir-kekerasan ala Gandhi

Mohandas Karamchand Gandhi, atau sering dipanggil Gandhi. Gandhi adalah seorang India yang saya anggap sebagai salah satu revolusioner sukses sepanjang masa. Pribadinya sangat sederhana, Gandhi dalam kehidupan sehari-harinya memasukkan sisi-sisi kehidupan kaum paria (saat itu dianggap kasta rendah atau disamakan dengan binatang). Dalam hal berpakaian juga sangat menghayati nilai-nilai kesederhanaan sebuah representasi yang sangat sempurna yang diperlihatkan Gandhi. Sebenarnya hal yang patut kita kagumi adalah konsep ajarannya tentang "nir-kekerasan". Yaitu melawan sesuatu yang tidak benar dengan kata halus atau tanpa kekerasan, bahkan kata-kata kotor pun tidak boleh. Gandhi selalu memakai teknik diplomasi dalam hal perlawanan, atau beliau sangat senang sekali melawan dengan berpuasa. Beliau termasuk salah satu pengagum Nabi Muhammad SAW yang dimana beliau hayati dalam setiap perilaku sedehananya. Saya tidak akan menilai ini semua dari segi agama atau religi, tapi lebih kepada konsep kemanusiaan atau humaniora. Akan tetapi dalam prakteknya, konsep nir-kekerasan ini tidaklah mudah dilakukan. Tentunya karena saat kita bicara tentang konsep ini, kita bicara tentang konflik global yang melibatkan berbagai pihak yang tentu juga memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dan pandangan-pandangan yang berbeda pula. Dalam mempraktekkan konsep nir-kekerasan sangat diperlukan sekali sebuah pengorbanan, sebagai contoh langkah puasa yang diambil Gandhi. Gandhi mengorbankan materi, keindahan dunia, fisiknya pula juga ikut dikorbankan. Yang ada dalam benak saya pada waktu saya menulis ini adalah, konsep ini sangat amat susah apabila kita akan praktekkan dalam realita tahun 2012 sekarang. Saya kira belum ada yang bisa mempraktekkannya. Saya sangat menghargai konsep ini karena konsep ini sebenarya menawarkan solusi damai tanpa kekerasan, tetapi hanya akan berhasil ketika kita menghadapi orang-orang yang beradab. Dulu waktu Gandhi menawarkan konsep ini kepada kaum Yahudi (ketika diserang Nazi), konsep ini nyatanya belum berhasil dan justru menambah korban jiwa yang pada waktu itu mencapai 6 juta jiwa. Itu berarti memang benar bahwa konsep ini hanya akan berhasil ketika kita melawan musuh yang masih beradab.

Kamis, 02 Agustus 2012

Film atau Buku

Baru-baru ini aku memang lebih suka menonton film tapi kadang juga membaca (walaupun sudah tidak kuliah lagi). Aku melihat bahwa antara kita membaca dengan menonton film itu tidak terlalu mempunyai perbedaan yang signifikan. Film adalah karya sastra kontemporer, buku semacam novel/biografi itu juga merupakan sebuah karya sastra. Yang mana didalam cerita juga sama-sama terdapat tokoh, alur cerita, jalur cerita juga. Kesimpulanku tetaplah sama, keduanya adalah mirip.
Sekarang mari kita melihat efek dari keduanya, efek yang ditimbulkan juga hampir mirip.  Kurang lebih mampu “meracuni” pembaca atau penonton. Kita juga ikut terbawa oleh alur ceritanya juga kan.
Sebenarnya saya menulis ini karena tadi ada orang yang bertanya, “nonton film terus kamu, jarang baca!”. Sambil senyum aku kebingungan. Tulisan ini saya tunjukkan untuk para kutu buku. Bahwa menonton film itu kini juga termasuk salah satu teknik literature yang efektif. Hampir selalu ada pelajaran di dalamnya, sebut saja film semacam The Accepted. Yang mungkin malah bias membom rata-rata pemikiran orang kutu buku yang pandangannya terhadap pendidikan terlalu mengkotak. Nah, efektif atau tidak itu tergantung pemilihan film. Pada dasarnya tidak ada film yang jelek (kecuali film horror Indonesia), semua tergantung orientasi pemikiran pada waktu kita akan menonton film.
Untuk kalian yang merasa terlalu tertekan oleh orang tua dalam hal menentukan studi kuliah, kalian harus melihat The Accepted atau Death Poet Society. Kurang lebih merepresentasikan perlawanan terhadap pilihan hati kalian. Atau untuk kalian yang kehilangan semangat hidup karena kekurangan yang kalian miliki, cobalah untuk menonton Letters to God atau Forrest Gump. Yang pastinya akan mengubah mind-set kalian, dan mengubah paradigm hidup dengan kekurangan. Mungkin juga untuk kalian yang merasa nasionalismenya masih setengah-setengah, coba tengok Ip Man. Film dengan bau nasionalisme murni ala China. Kurang lebih seperti itu.
Bukan maksud saya untuk mengajak kalian meninggalkan budaya membaca. Tapi menonton film dengan bijak juga tidak kalah efektifnya. Membaca itu sangat perlu sekali. Aku juga masih menyempatkan waktu untuk membaca, walaupun kadang satu buku baru selesai dibaca setelah 2 minggu (sedang film hanya 2 jam). Membaca adalah basic kita dalam berbicara (public speaking) dan juga menulis. Intinya, memperkaya kosakata yang pastinya sangat amat berguna bagi kita.
Kesimpulanku, kita tidak harus lagi memperdebatkan antara menonton film atau membaca buku. Keduanya termasuk dalam teknik literature kontemporer. Mendebatkan keduanya tidak akan menemukan mana yang lebih baik. Kita hanya harus mengimbangkan keduanya. Supaya menjadi seseorang yang “komplit”. :)

Sabtu, 28 Juli 2012

Tulisan Akhir Pekan

Hari-hari ini sangat membuat emosi, akumulasi emosi yang sudah tak muat lagi akhirnya meledak bak bom atom. Rekan kerjaku sangat membuat aku emosi, gesturenya sangat negatif terhadapku. Entah kenapa, sepertinya dia memang ingin aku keluar dari pekerjaan ini. Aku sendiri pada awalnya menanggapi dengan santai dan menganggap ini sebagai sesuatu yang wajar dalam dunia kerja. Tetapi pada akhirnya aku meletus juga, pilihannya ada dua. Apakah aku akan ditindas secara psikologis seperti ini atau aku bertindak melawan dengan halus. Aku harus segera take an action secepat mungkin. Kemungkinan setelah lebaran aku keluar, mencari pekerjaan baru. Dan mendengar beberapa teman-teman yang sudah mulai magang, sebenarnya aku iri terhadap mereka. Bila kuliahku lancar, seharusnya aku juga ikut magang waktu-waktu ini. Tapi ya sudahlah, memang aku yang terlambat melakukan koreksi. Lagi pula akhir-akhir ini aku jadi lebih tahu, apa sebenarnya tugas mahasiswa. Atau melihat fenomena mahasiswa sekarang yang kurang memiliki integritas. Itu aku dapat setelah membaca buku "Catatan Seorang Demonstran". Semuanya tampak jelas buatku, bahwa seharusnya mahasiswa mampu membuat perubahan yang nyata dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Mereka yang lebih memiliki intelektualitas seharusnya mampu menyalurkan aspirasi masyarakat lower class. Menjadi jembatan antara mereka, masyarakat dengan pemerintah. Mereka yang sekarang masih kuliah di UNS, sebagian besar masih belum mengetahui hal itu. Bahkan mereka yang IPKnya selalu cumlaude, karena orientasi mereka hanya mengejar nilai yang bagus dan mendapatkan pekerjaan yang layak, lalu sesudah itu mati. Orang semacam itu memang kurang berharga, aku kurang simpatik karena terkesan individualistis. Pernah aku dulu ngobrol-ngobrol dengan salah seorang temanku, dia bilang mereka yang telah lulus dan menjadi sarjana itu belum tentu mengetahui esensi mainstream mereka, bahkan mereka juga yang telah mengajar. Setelah obrolan itu dulu, misiku adalah mencari esensi belajar di Sastra. Pokoknya itu, aku kurang simpatik dengan teman-teman yang terkesan menjadi follower saja. Aku akan mengajak mereka untuk berjuang membuktikan bahwa kita mahasiswa bukanlah sekumpulan kelompok huru-hara saja. Bahwa kita memiliki integritas yang harus kita tunjukkan kebenarannya. We must struggle for the better life of society.