Mohandas Karamchand Gandhi, atau sering dipanggil Gandhi. Gandhi adalah seorang India yang saya anggap sebagai salah satu revolusioner sukses sepanjang masa. Pribadinya sangat sederhana, Gandhi dalam kehidupan sehari-harinya memasukkan sisi-sisi kehidupan kaum paria (saat itu dianggap kasta rendah atau disamakan dengan binatang). Dalam hal berpakaian juga sangat menghayati nilai-nilai kesederhanaan sebuah representasi yang sangat sempurna yang diperlihatkan Gandhi. Sebenarnya hal yang patut kita kagumi adalah konsep ajarannya tentang "nir-kekerasan". Yaitu melawan sesuatu yang tidak benar dengan kata halus atau tanpa kekerasan, bahkan kata-kata kotor pun tidak boleh. Gandhi selalu memakai teknik diplomasi dalam hal perlawanan, atau beliau sangat senang sekali melawan dengan berpuasa. Beliau termasuk salah satu pengagum Nabi Muhammad SAW yang dimana beliau hayati dalam setiap perilaku sedehananya. Saya tidak akan menilai ini semua dari segi agama atau religi, tapi lebih kepada konsep kemanusiaan atau humaniora. Akan tetapi dalam prakteknya, konsep nir-kekerasan ini tidaklah mudah dilakukan. Tentunya karena saat kita bicara tentang konsep ini, kita bicara tentang konflik global yang melibatkan berbagai pihak yang tentu juga memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dan pandangan-pandangan yang berbeda pula. Dalam mempraktekkan konsep nir-kekerasan sangat diperlukan sekali sebuah pengorbanan, sebagai contoh langkah puasa yang diambil Gandhi. Gandhi mengorbankan materi, keindahan dunia, fisiknya pula juga ikut dikorbankan. Yang ada dalam benak saya pada waktu saya menulis ini adalah, konsep ini sangat amat susah apabila kita akan praktekkan dalam realita tahun 2012 sekarang. Saya kira belum ada yang bisa mempraktekkannya. Saya sangat menghargai konsep ini karena konsep ini sebenarya menawarkan solusi damai tanpa kekerasan, tetapi hanya akan berhasil ketika kita menghadapi orang-orang yang beradab. Dulu waktu Gandhi menawarkan konsep ini kepada kaum Yahudi (ketika diserang Nazi), konsep ini nyatanya belum berhasil dan justru menambah korban jiwa yang pada waktu itu mencapai 6 juta jiwa. Itu berarti memang benar bahwa konsep ini hanya akan berhasil ketika kita melawan musuh yang masih beradab.
Senin, 13 Agustus 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
Film atau Buku
Baru-baru
ini aku memang lebih suka menonton film tapi kadang juga membaca (walaupun
sudah tidak kuliah lagi). Aku melihat bahwa antara kita membaca dengan menonton
film itu tidak terlalu mempunyai perbedaan yang signifikan. Film adalah karya
sastra kontemporer, buku semacam novel/biografi itu juga merupakan sebuah karya
sastra. Yang mana didalam cerita juga sama-sama terdapat tokoh, alur cerita,
jalur cerita juga. Kesimpulanku tetaplah sama, keduanya adalah mirip.
Sekarang
mari kita melihat efek dari keduanya, efek yang ditimbulkan juga hampir
mirip. Kurang lebih mampu “meracuni”
pembaca atau penonton. Kita juga ikut terbawa oleh alur ceritanya juga kan.
Sebenarnya
saya menulis ini karena tadi ada orang yang bertanya, “nonton film terus kamu,
jarang baca!”. Sambil senyum aku kebingungan. Tulisan ini saya tunjukkan untuk
para kutu buku. Bahwa menonton film itu kini juga termasuk salah satu teknik
literature yang efektif. Hampir selalu ada pelajaran di dalamnya, sebut saja
film semacam The Accepted. Yang mungkin malah bias membom rata-rata pemikiran
orang kutu buku yang pandangannya terhadap pendidikan terlalu mengkotak. Nah,
efektif atau tidak itu tergantung pemilihan film. Pada dasarnya tidak ada film
yang jelek (kecuali film horror Indonesia), semua tergantung orientasi
pemikiran pada waktu kita akan menonton film.
Untuk
kalian yang merasa terlalu tertekan oleh orang tua dalam hal menentukan studi
kuliah, kalian harus melihat The Accepted atau Death Poet Society. Kurang lebih
merepresentasikan perlawanan terhadap pilihan hati kalian. Atau untuk kalian
yang kehilangan semangat hidup karena kekurangan yang kalian miliki, cobalah
untuk menonton Letters to God atau Forrest Gump. Yang pastinya akan mengubah
mind-set kalian, dan mengubah paradigm hidup dengan kekurangan. Mungkin juga
untuk kalian yang merasa nasionalismenya masih setengah-setengah, coba tengok
Ip Man. Film dengan bau nasionalisme murni ala China. Kurang lebih seperti itu.
Bukan
maksud saya untuk mengajak kalian meninggalkan budaya membaca. Tapi menonton
film dengan bijak juga tidak kalah efektifnya. Membaca itu sangat perlu sekali.
Aku juga masih menyempatkan waktu untuk membaca, walaupun kadang satu buku baru
selesai dibaca setelah 2 minggu (sedang film hanya 2 jam). Membaca adalah basic
kita dalam berbicara (public speaking) dan juga menulis. Intinya, memperkaya
kosakata yang pastinya sangat amat berguna bagi kita.
Kesimpulanku,
kita tidak harus lagi memperdebatkan antara menonton film atau membaca buku.
Keduanya termasuk dalam teknik literature kontemporer. Mendebatkan keduanya
tidak akan menemukan mana yang lebih baik. Kita hanya harus mengimbangkan
keduanya. Supaya menjadi seseorang yang “komplit”. :)
Langganan:
Postingan (Atom)